Dana Parpol Makin Tinggi Saat Resesi Mengancam Negeri, Paradoks Demokrasi

Oleh: Wity (Aktivis Muslimah Purwakarta)

Ancaman resesi terjadi hampir di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani memprediksi ekonomi dunia akan jatuh ke jurang resesi pada tahun depan.
Perkiraan itu ia buat berdasarkan kenaikan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral di sejumlah negara seperti AS dan Inggris demi meredam lonjakan inflasi. Sri Mulyani pun memastikan kebijakan itu akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi sehingga ancaman resesi kian sulit dihindari. 

Berdasarkan catatan Ani, suku bunga acuan bank sentral Inggris sudah naik 200 basis poin selama 2022. Begitu pula dengan Amerika Serikat (AS) yang sudah naik 300 bps sejak awal tahun. (cnnindonesia.com, 27/09/2022)

Kompak dengan pernyataan Sri Mulyani, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Luhut B. Pandjaitan selaku Menko Maritim dan Investasi menyatakan hal senada. Keduanya menyatakan, perekonomian tahun depan semakin gelap.

Sebelumnya Presiden Jokowi berulang kali mengatakan, bahwa kondisi ekonomi dunia makin tidak pasti. Bahkan tahun depan Jokowi sudah mewanti-wanti bahwa kondisi dunia dalam 'awan gelap' dan akan ada badai besar yang akan menghadang.

Sementara itu, Luhut menyatakan bahwa Indonesia saat ini menghadapi tantangan akibat efek domino dari tensi geopolitik yang masih terus memanas dan tidak bisa diprediksi kapan berakhir. Oleh karena itu, dia mengimbau langkah terus strategis dilakukan untuk memitigasi risiko yang dapat terjadi. (cnbcindonesia.com, 30/09/2022)

Anehnya, meski menyadari kondisi perekonomian semakin gelap, pemerintah justru mengusulkan kenaikan bantuan dana partai politik (parpol) tiga kali lipat. Mengapa demikian?

Abai Terhadap Urusan Rakyat

Mengutip dari republika.co.id (22/09/2022), Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengusulkan kenaikan bantuan dana parpol dari Rp 1.000 per suara menjadi Rp 3.000 per suara.

Hal tersebut dinilai kurang pantas, sebagaimana pernyataan Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay. Menurutnya, Menaikan dana bantuan parpol di saat krisis seperti saat ini kurang tepat, karena kondisi krisis keuangan dan kenaikan BBM. Pemerintah seharusnya memprioritaskan kebutuhan yang langsung dirasakan rakyat terlebih dahulu.

Hadar pun mengusulkan sebelum Mendagri menaikkan dana bantuan parpol, ada baiknya pemerintah bersama DPR terlebih dahulu membenahi sistem pengawasan dan pelaporan yang lebih transparan dan akuntabel. Karena banyak kasus dan bantuan parpol di daerah menjadi sumber tindak pidana korupsi.

Sangat disayangkan, lagi-lagi pemerintah menunjukan ketidakpekaannya terhadap kondisi rakyat. Di tengah berbagai kesulitan yang melanda rakyat akibat krisis, pemerintah justru berencana menaikan bantuan dana parpol. Hal ini bukan hanya tidak pantas, tapi juga semakin menambah fakta bahwa pemerintah telah benar-benar abai terhadap urusan rakyat.

Bukti Kebobrokan Demokrasi

Pada dasarnya, demokrasi yang selama ini dipuja-puja adalah sistem yang penuh dengan kebobrokan. Penuh paradoks. Pemerintah lebih mengutamakan kepentingan parpol yang akan menjadi kendaraan politik meraih kursi. Abai terhadap kondisi rakyat yang tengah berada dalam kesulitan. Hal ini wajar dalam politik demokrasi, pasalnya penguasa yang terpilih dalam sistem ini merupakan anggota partai.

Adapun partai, biasanya mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memenangkan kontestasi pemilu. Alhasil, penguasa yang berhasil meraih kursi kekuasaan, berhutang besar pada partai. Karena itu, penguasa harus berpihak kepada partai, sebagai bentuk balas budi.

Sementara rakyat, hanya dibutuhkan jelang pemilu. Parpol akan berlomba-lomba mencari simpati rakyat. Berbagai trik pencitraan pun dikeluarkan. Janji-janji diobral. Semua hal menjijikan itu dilakukan hanya demi mendulang suara. Faktanya, setelah mereka meraih kekuasaan, rakyat diabaikan. Janji-janji pun dilupakan. Ironi, bukan?

Dalam sistem yang bobrok seperti ini, mungkinkah lahir penguasa yang peduli akan kesejahteraan rakyat? Rasanya mustahil. Ibarat air kolam yang sudah terkontaminasi limbah, sesehat apapun ikan yang masuk ke dalamnya, pasti akan teracuni. Demikian pula dalam sistem demokrasi, sebaik apapun orangnya, ia pasti akan terkontaminasi atau terlempar dengan sendirinya. Karena demokrasi tak punya tempat untuk orang-orang berhati nurani.

Umat Butuh Pemimpin dan Sistem Islam

Sesungguhnya, kekbobrokan demokrasi telah nyata. Sistem ini tak lagi bisa diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Maka, sampai kapankah akan terus dipertahankan? Bukankah ada sistem alternanif yang telah terbukti secara nyata mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat? Itulah sistem Islam. Sistem yang lahir dari wahyu Allah Al-Khalik Al-Mudabbir.

Sistem Islam telah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Membawa masyarakatnya berada di puncak kejayaan selama berabad-abad. Hal ini karena hubungan penguasa dan rakyat dalam Islam sangat unik.

Hubungan yang terjalin antara penguasa dan rakyat bagaikan pelayan dan tuan. Negara adalah pelayan yang berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyat dengan baik. Ketika negara mampu memenuhi hak-hak rakyat dengan baik, rakyat pun akan mencintai pemimpinnya dan mendoakannya. Inilah sebaik-baik hubungan penguasa dan rakyatnya yang hanya ada dalam sistem Islam.

"Sebaik-baik pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian. Mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka. Seburuk-buruk pejabat negara kalian adalah mereka yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian." (HR. Muslim)

Dalam Islam, penguasa berkewajiban mengurus urusan rakyat dengan baik, yakni dengan menjalankan hukum-hukum syariah, serta mengutamakan kemaslahatan dan kepentingan rakyat. Hal ini karena Islam memandang bahwa pemimpin atau penguasa adalah pelindung bagi rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya. Ia bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan kelak akan dimintai pertanggung jawaban atas amanah kepemimpinannya. Sebagaimana hadis Rasulullah saw.

“Imam adalah raain (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Dengan demikian, penguasa dalam sistem Islam akan berusaha menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya atas dorongan ketakwaan kepada Allah SWT.

Inilah yang dibutuhkan umat, yakni sistem dan kepemimpinan Islam. Bukan sistem demokrasi yang penuh paradoks.[]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel